Selasa, 18 September 2007

Patient Safety

Teknologi Informasi untuk Patient Safety

Beberapa waktu yang lalu Menteri Kesehatan, Dr. Fadilah Supari mencanangkan gerakan nasional keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. Lalu, apa hubungannya dengan teknologi informasi?
Saat ini, berbagai rumah sakit sudah mulai menerapkan sistem informasi rumah sakit berbasis komputer untuk mendukung manajemen keuangan (khususnya billing systems). Jika rumah sakit sudah melewati tahap tersebut, langkah selanjutnya adalah pengembangan sistem informasi klinik. Di sini, peran penting teknologi informasi tidak lepas dari potensinya untuk mencegah medical error. Seperti kita ketahui, ada dua pandangan mengapa error dapat muncul di rumah sakit. Yang pertama, error terjadi karena kesalahan individual tenaga kesehatan. Yang kedua, kesalahan individual tidak akan muncul jika manajemen memiliki mekanisme untuk mencegah.
Teknologi informasi dapat berperan dalam mencegah kejadian medical error melalui tiga mekanisme yaitu (1) pencegahan adverse event, (2) memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan (3) melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event dengan rincian sebagai berikut:

a. Pencegahan adverse event
Hasil penelitian klinis memerlukan waktu lama (rata-rata 17 tahun) sampai diterapkan dalam praktek sehari-hari. Penyediaan fasilitas teknologi informasi akan mendorong penyebarluasan informasi dengan cepat. Sehingga, sekarang di berbagai rumah sakit pendidikan mulai tersedia fasilitas Internet agar para residen dan dokter dapat dengan cepat mengakses perkembangan ilmu kedokteran terbaru serta menggunakannya (evidence based medicine). Pencegahan adverse event yang lebih riil adalah penerapan sistem pendukung keputusan (SPK) yang diintegrasikan dengan sistem informasi klinik. Berbagai macam contoh SPK mampu memberikan alert kepada dokter (contoh gambar 1) yang muncul secara cepat pada situasi kritis yang kadang membahayakan keselamatan pasien. Pada kondisi tersebut, informasi yang lengkap sangat penting dalam pengambilan keputusan, misalnya: nilai laboratorium abnormal, kecenderungan vital sign, kontraindikasi pengobatan maupun kegagalan prosedur tertentu. Pencegahan adverse event juga dapat dilakukan melalui pengembangan berbagai aplikasi yang memungkinkan pemberian obat serta dosis secara akurat. Penggunaan barcode serta barcode reader untuk kemasan obat akan mencegah kesalahan pengambilan obat.

b. Memberikan respon cepat setelah terjadinya adverse event.
Selanjutnya, sistem informasi klinik yang baik akan mampu memberikan umpan balik secara cepat jika terjadi kesalahan atau adverse event. Contoh yang menarik adalah pengalaman penarikan obat rofecoxib (keluaran Merck). Begitu FDA mengeluarkan rilis mengenai penarikan obat tersebut, salah satu rumah sakit di AS dengan cepat mengidentifikasi seluruh pasien yang masih mendapatkan terapi obat tersebut, kemudian memberitahukan secara tertulis maupun elektronik mengenai penghentian obat tersebut dan memberikan saran untuk kembali ke rumah sakit agar mendapatkan obat pengganti.Semua surat kepada 11 ribuan pasien terkirim sehari kemudian. Dalam waktu 7 jam dokter yang menggunakan sistem informasi klinikpun tidak akan menemukan daftar obat tersebut dalam daftar peresepan, karena sudah langsung dikeluarkan dari database obat.

c. Melacak dan menyediakan umpan balik secara cepat
Teknologi database dan pemrograman saat ini memungkinkan pengolahan data pasien dalam ukuran terra byte secara cepat. Metode datawarehouse dan datamining memungkinkan komputer mendeteksi pola-pola tertentu dan mencurigakan dari data klinis pasien. Metode tersebut relatif tidak memerlukan operator untuk melakukan analisis, tetapi komputer sendirilah yang akan memberikan hasil analisis dan interpretasi tersebut. Oleh karena itu, istilah rekam kesehatan elektronik menjadi kata kunci. Ketika data rekam medis pasien, obat, protokol klinik, aset rumah sakit diintegrasikan dalam suatu database elektronik rumah sakit dapat mewujudkan tiga hal tersebut di atas.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi akan membantu dalam pencapaian patient safety melalui upaya-upaya perbaikan komunikasi, melengkapi program sistem informasi dengan berbagai kalkulasi, pengembangan sistem pendukung keputusan, respon cepat setelah adverse event maupun pencegahan adverse event. Disamping itu, upaya pengembangan arsitektur sistem informasi yang memungkinkan tenaga kesehatan mengakses pengetahuan kedokteran terbaru.

Tantangan
Namun demikian, ada tiga kendala utama yaitu finansial, kultural serta ketiadaan standar. Berbagai contoh di atas memerlukan investasi finansial yang tidak sedikit. Di sisi yang lain, banyak rumah sakit yang menganggap teknologi informasi hanya sebagai komoditas, bukan sebagai sumber daya strategis. Yang menguntungkan, tenaga kesehatan kita sebenarnya juga semakin aware terhadap teknologi informasi. Saya mencatat bahwa dokter baru kita saat ini semakin familiar dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ketika fasilitas hotspot disediakan di lingkungan kampus, semakin banyak mahasiswa yang memanfaatkannya baik melalui laptop maupun handheld. Di Kanada, 50% dokter yang berusia di bawah 35 tahun menggunakan PDA. Hal ini menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi cukup cepat. Faktor kultural yang dapat menghambat adalah bagaimana mengintegrasikan sistem informasi klinik ke dalam workflow seorang dokter. Pada tingkat yang lebih tinggi, sampai sekarang Indonesia belum mendadopsi standar pertukaran data kesehatan secara elektronik (HL 7)maupun standar data untuk berbagai data klinis dan keperawatan (SNOMED, LOINC dan NANDA)
Rumah sakit harus seharusnya menerjemahkan patient safety ke dalam rencana strategis pengembangan sistem informasi rumah sakit. Dimulai dari pembentukan tim sistem informasi rumah sakit yang akan menerjemahkan bisnis rumah ke dalam rencana strategis sistem informasi dan teknologi informasi, pengembangan infrastruktur (mulai dari database pasien elektronik, workstation), hingga ke pelatihan kepada staf medis, keperawatan dan non medis. Selain itu, keterlibatan dokter merupakan salah satu kunci utama keberhasilan penerapan sistem informasi klinik. Pada tingkat yang lebih tinggi, rumah sakit perlu bekerjasama dengan dinas kesehatan dan pihak asuransi maupun organisasi untuk sharing data serta melakukan evaluasi pelayanan medis melalui database rekam medis.

Kesimpulan
Sebagai penutup, gerakan patient safety seharusnya tidak berhenti sebagai aksi seremonial semata. Tetapi harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata yang bertujuan untuk menyiapkan infrastruktur informasi kesehatan nasional (yang dapat diterjemahkan hingga ke level organisasi, yaitu rumah sakit). Tanggung jawab utama Departemen Kesehatan terletak pada penentuan standar informasi kesehatan yang akan digunakan oleh pihak pengembang perangkat lunak agar software yang mereka bikin dapat kompatibel satu sama lain.

Tidak ada komentar: